Janet memperhatikan dengan seksama sebuah benda besar dengan bentuk yang aneh di depannya. Ia memperhatikan kabel-kabel di sekitar benda itu, yang mengerjap-ngerjap dengan sinar merah dan biru, dengan mata terbelalak. "Hebat! Sangat hebat! Ini luar biasa!" pikirnya.
"Bagaimana, Janet? Percayakah kau sekarang aku sudah sukses membuat penemuan seperti ini?" ujar profesor Arnold dengan mata yang bersinar-sinar, penuh kebahagiaan. Rambutnya yang sudah memutih berantakan dan menjuntai-juntai. Janet bergidik ngeri melihat mimik gila profesor itu. Seperti kebanyakan penemu, profesor Arnold memang bertingkah aneh dan nyentrik. Profesor Arnold merupakan dosen di kampus Janet. Entah kenapa Janet pernah dengan bodoh menantang profesor nyentrik ini untuk membuatkannya mesin waktu. Hal yang nampaknya mustahil, namun dengan secara nyata terpampang di depan Janet, 3 tahun setelah Janet memberikan tantangan itu.
"Ok, sekarang apa selanjutnya?" ujar Janet.
"Kau bilang ingin kembali ke masa lalu, bukan? Nah, sekarang kau bisa menjadikan impianmu nyata! Hahaha", profesor Arnold tertawa keras sekali. Ya, Janet memang ingin kembali ke masa lalu, tepatnya 4 tahun lalu. Apa sih yang terjadi sebelum ia kehilangan ingatan akibat kecelakaan mobil yang menewaskan ibu dan adiknya?
"Ya, aku ingin sekali mencobanya. Cepatlah tunjukkan cara untuk menggunakan mesin ini, profesor!" desak Janet. Kening profesor Arnold berkerut, sejenak seperti berpikir.
"Boleh. Tapi ada syaratnya", jawab profesor Arnold membuat Janet bingung.
"Apapun yang terjadi di masa lalu adalah bagian di hidupmu. Syukurilah", jawab profesor itu, kemudian tertawa lagi.
"Yeah, apapun", tanggap Janet masa bodoh. Mesin waktu dihidupkan.
"Tapi, bolehkah aku tahu apa alasanmu sehingga kau bersikeras untuk kembali ke masa lalumu?" tanya profesor Arnold, memperlambat hasrat Janet untuk segera kembali ke masa lampau.
"Ingin melihat kembali kehidupan yang aku punya sebelum mengalami amnesia sialan ini", jawab Janet terburu-buru.
"Sepertinya ada sesuatu yang lain".
"Hhh... Ayahku bilang dulu aku punya pacar, namanya Thomas. Tapi, setelah aku mengalami kecelakaan mobil 4 tahun lalu, Thomas menikahi Isabell, tetanggaku! Aku ingin tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi", jawab Janet.
"Aaah... Jadi itu alasan yang sesungguhnya. Masihkah kamu mencintai Thomas? Kau tidak ingat sedikit pun tentang kisah kalian berdua, bukan?" Janet terdiam. Ya, memang Janet tidak ingat apa-apa. Tapi, sungguh, gadis ini tidak rela jika memang benar pacarnya direbut oleh orang lain, di saat ia sedang mengalami musibah. Lagipula, selama 4 tahun ini Janet masih lajang, tidak lagi punya pacar. Ia berencana untuk lebih baik merebut Thomas dari Isabell seusai mengetahui yang sebenarnya terjadi di masa itu.
"Cepatlah profesor, jalankan mesin ini. Aku tidak ada waktu menjawab pertanyaan bodohmu", kata Janet ketus, mulai tidak sabar. Profesor Arnold tertawa terbahak-bahak. Ia kemudian menyuruh Janet untuk masuk ke dalam mesin waktu itu, kemudian mengutak-ngatik tombol keberangkatan mesin waktu. Janet hanya diam, berharap penuh mesin ini bekerja dengan baik. Tertera di layar mesin, 2000, tahun tujuan Janet
Sensasi terguncang dirasakan oleh Janet. Ia menutup matanya rapat-rapat, dan memegang dinding mesin waktu itu. Perlahan-lahan ia merasakan kakinya melayang. Kepalanya sakit, badannya lemas. "Apa-apaan sih mesin ini? Cara kerja yang kasar", ujar Janet dalam hati.
Hal yang lebih aneh kemudian dirasakan oleh Janet. Gadis pirang itu merasa tenggorokannya tercekat ketika menyaksikan tangannya berubah menjadi abu. Berikutnya, ujung jari kakinya, kemudian perutnya, dadanya, lalu lehernya. Mata Janet melotot marah. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Selanjutnya, tubuhnya lenyap, berubah menjadi abu. Mesin waktu itu berhenti bekerja.
"Well, sepertinya mesin waktuku gagal. Sayang sekali gadis malang itu berubah menjadi abu. Dimana ya letak kesalahan mesinku ini? Hahahaha. Hahahahahahaha", tawa profesor Arnold menggema di laboratoriumnya, di ruang bawah tanah rumahnya itu. Angin berhembus dari jendela, menerbangkan serpihan abu Janet.
Esra Masniari Tambunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar