Selasa, 28 Juni 2011

Surat Cinta (Short Story)

   Dear Leon,

   Apa kabar? Ku harap kamu baik-baik saja di sana. Ku harap kau bertanya akan kabarku juga, dan ya, aku sepertinya cukup baik-baik saja. By the way, aku merindukanmu. Sudah 1 tahun berlalu dan sepertinya aku semakin rapuh saja semenjak kepergianmu. Oh ya, ini surat pertamaku untukmu, bukan? Biasanya kita saling menelpon untuk bertukar kabar, namun sekarang rasanya berbeda. Aku tidak bisa meneleponmu lagi. Aku tidak bisa mendengar suaramu lagi. Ya, Tuhan, aku rindu sekali padamu, Leon...
   Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku bersumpah tidak akan membiarkanmu pergi 2 tahun lalu untuk bertugas di Iraq. Sudah ku bilang kan, di sana akan suram sekali, namun entah kenapa kamu ngotot sekali, sih. Sekarang jadinya bagaimana? Selama 1 tahun di sana kamu baik-baik saja, dan aku sedikit lega. Tapi sekarang aku ditinggalkan dengan air mata sebagai teman. Aku rindu padamu, Leon...
   Kau bilang kita akan menikah sepulangmu dari Iraq, bukan? Aku senang sekali dengan perkataanmu. Masih kuingat ketika kau melamarku di Mcdonalds. Rasanya lucu sekali, saat aku asyik mengunyah cheese burgerku, kau datang dengan sebuah balon putih bertuliskan, "Will you marry me, dear Emily?" Aku hampir saja tersedak daging di burgerku karena kaget bercampur bahagia. Selama 6 tahun berpacaran, di otakku tertanam prinsipmu yang tidak ingin menikah karena kau tidak percaya pada pernikahan. Jadi jelas, saat kau melamarku di depan puluhan orang pada Sabtu pagi di Mcdonalds rasanya aku ingin melompat saja karena sangat senang. Hmm, jangan tertawa. Well, aku memang lompat ke pelukanmu, ya. LOL. Aku suka sekali mengingat momen itu, Leon. Apalagi ketika kau berlutut dan menyerahkan cincin terindah yang pernah kulihat seumur hidupku. Lucunya lagi, cincin itu sudah tersimpan selama 1 tahun karena kau malu melamarku. Ah, Leon, aku sayang sekali padamu.
   
   Leon, aku benar-benar merindukanmu sekarang. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana melanjutkan hidupku tanpamu. Rasanya semua hambar. Aku tidak mengerti mengapa hal ini harus terjadi padaku. Kita harusnya sudah menikah sekarang. Coba bayangkan seandainya kita jadi menikah. Mungkin aku sudah hamil sekarang dan kau akan mati-matian mencari makanan yang aku idamkan. Mungkin kita juga akan sibuk berdiskusi mengenai warna kamar bayi kita dan peraturan-peraturan apa yang akan dijalani anak kita saat ia tumbuh nanti. Kita tidak mau anak kita mengkonsumsi narkoba serta alkohol, kan, sayang? Leon, sumpah mati aku rindu padamu. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang.

   Aku tidak tahan hidup di dunia yang tanpa kau lagi, Leon. Aku mati rasa. Seandainya saja aku bisa ikut mati terkena bom bersamamu di Iraq waktu itu, mungkin sekarang kita berdua sudah bahagia menjadi sepasang pengantin surga. Ah, Leon, surga rasanya seperti apa? Sangat indahkah sehingga kau tidak ingin lagi kembali ke bumi? Aku ingin ke sana. Aku ingin bersamamu selamanya, Leon. Aku ingin menikmati nafas yang aku punya sampai Tuhan mengguyur bumi dengan bah denganmu. Maukah kau berbagi surga denganku? Tetapi jika seandainya aku adalah seorang makhluk terkutuk yang tak pantas di surga, maukah kau ikut ke neraka denganku? Aku harap kau menganggukkan kepala. Aku yakin kau mau, karena cintamu sama besar dengan cintaku. Benar kan, sayang?
   Aku segera datang, Leon sayang. Jangan pergi kemana-mana, tetaplah di surga.


Yang selalu mencintamu,
Emily Wellington.


                                          *                     *                   *

   "Emily, ayo makan dulu ya, nak. Kemaren kau tidak makan, kan? Sekarang makan dulu, sayang", ujar Ny. Wellington sambil mengetuk pintu kamar putri bungsunya. Lama menunggu jawaban, ia memutar kenop pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu. Sedetik kemudian ia tersungkur lemas dan berteriak. Emily Wellington tergantung di tiang kamar dengan dengan wajah pucat yang menyunggingkan senyum tipis.




Esra Masniari Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar