Minggu, 17 Juni 2012

Simply Not Another Fairy Tale (Short Story)

   Cahaya itu datang lagi. Kali ini aku bisa merasakan hangatnya. Lalu kulihat wajah yang sudah tak asing lagi. Ya, wajah itu. Wajah yang sangat kukenal jelas, dan sangat kurindukan. "Bicaralah", ujarku dalam hati. "Aku rindu sekali mendengar suaramu". Kemudian sosok itu mendekat. Ia tersenyum. Lelaki berdada bidang itu kemudian menyapaku, "Hai, Lana".

   "Lana, lana? Bangun, dong". Aku menggeliat pelan. Mataku mengerjap-ngerjap, perih untuk kubuka.
   "Lana? Udah jam berapa nih? Bangun, dong. Bikinin sarapan untuk aku". Aku membuka mata dan tampaklah sebuah wajah tampan di depanku, Michael.
   "Tumben banget sayang, aku lebih dulu bangun? Kamu capek banget ya?" ujar Michael, suamiku. Kemudian ia mengecup keningku. "Selamat pagi", katanya manis. Aku tersenyum membalas ucapannya. "Maaf ya, bang, aku telat bangun. Sekarang aku bikin sarapan dulu, deh". Michael mengangguk sambil kemudian mengelus lenganku yang melenggang menuju kamar mandi untuk menyikat gigiku serta membasuh mukaku dengan air dingin, lalu segera melakukan kewajibanku sebagai istri di pagi hari, yaitu membuatkan sarapan.


   Aku mengaduk-ngaduk secangkir teh yang sudah mulai mendingin di hadapanku. Mataku menerawang jauh, memikirkan mimpi semalam. Ia lagi. Randy. Lagi-lagi Randy muncul di mimpiku, membuat aku galau tak karuan. Sepanjang pagi ini aku sibuk tertegun memikirkan mimpiku semalam. Mengapa lagi-lagi Randy muncul di mimpiku? Kukira, setelah aku menikah, aku tidak akan lagi memimpikan Randy. Namun ternyata tidak; tidak ada yang berubah. Lagi-lagi bayang Randy merasuki mimpiku. "Hhh...", aku menghela napas. Kurasakan mataku mulai membasah, lalu air mulai tergenang di pelupuk kedua mataku. Air mata itu kutahan sebisa mungkin untuk mengalir, yang kemudian aku sesap dalam-dalam.

   Randy Hermawan. Nama itu masih terngiang jelas di telingaku. Sosoknya yang ramah dan sangat kukenal itu selalu lekat di benakku. Mengapa tidak? Randy adalah sahabatku semasa SMP. Ia adalah satu-satunya sahabat lelaki ku saat itu. Kedekatan kami terjalin saat kami masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Randy adalah teman semeja pertamaku, yang membuat aku mengenalnya.
   Bicara mengenai Randy tak akan pernah habis. Randy adalah sosok sahabat yang menyenangkan. Ia supel dan cerdas. Randy juga tidak banyak omong, namun juga tidak pendiam. Terkadang dia usil, namun keusilannya hanya sekedar iseng belaka, tidak membuat aku repot. Di mataku ia merupakan sahabat yang sempurna. Meski aku juga memiliki sahabat-sahabat perempuan, Randy tidak pernah mencampuri urusanku dengan mereka. Aku dan Randy memiliki lingkaran persahabatan kami sendiri. Tidak seperti cerita novel kebanyakan, aku dan Randy bukan teman berbagi cerita curhat-curhatan, namun kami saling percaya satu sama lain. Selain sering saling mengirim pesan singkat melalui telepon genggam kami, aku dan Randy juga sering janjian mendengarkan radio di malam hari. Randy juga bukan sahabatku untuk sekedar kongkow-kongkow. Jarang sekali kami untuk sekedar jalan bersama, namun aku tetap merasa Randy adalah sahabat kentalku.

   Ia memandangiku, namun tidak tersenyum. Aku menatapnya dari kejauhan. Kemudian ku saksikan ia berbincang-bincang dengan teman-temannya. Aku terbangun. Masih pukul 5. Aku menghela nafas. Lagi-lagi, aku bermimpi mengenai Randy. Mengapa ini semua terjadi? Mengapa sering sekali Randy hadir di setiap mimpiku? Padahal aku tidak sedang rindu atau memikirkannya! Aku memijit kepalaku. Pening rasanya, karena masih mengantuk. Kutatap wajah Michael, suamiku, yang masih pulas tertidur. Kudekap erat lengan kokohnya itu. Aku hampir menangis. "Kebangun, lan?" ujar Michael sambil tetap terpejam. Kemudian ia melingkarkan lengannya ke tubuhku. Aku tertidur kembali, merasa nyaman di pelukan suami yang telah menikahiku 3 bulan lalu itu.

   Aku masih hafal jelas hobi Randy: bermain sepakbola. Hobi Randy tentu bukanlah hobiku. Aku lebih memilih untuk menggeluti olahraga bulutangkis dibanding olahraga sepakbola. Namun, bagi Randy, sepakbola adalah kecintaannya. Ia sangat menikmati jam-jam dimana ia berlatih menendang dan mengoper benda bulat yang dimainkan oleh kaki itu bersama teman-temannya. Ada waktu dimana aku ingin menonton pertandingan sepakbola Randy. Kala itu, Randy menitipkan telepon genggamnya padaku. Aku tersenyum mengingat Randy. Ah, Randy. Masih ingatkah ia padaku sekarang? Sudah 9 tahun berlalu semenjak kelulusan SMP kami, dimana aku dan Randy berpisah. Semenjak itu pula aku belum pernah lagi bertemu dengan Randy.
   Tentu saja aku rindu pada Randy. Di hati kecilku, aku tahu bahwa Randy adalah cinta pertamaku dan Randy tidak pernah beranjak dari hatiku. Ia tetap tinggal dan bersemayam di hatiku, meski telah menahun berlalu semenjak perpisahan kami.


   Tidak mudah bersahabat dengan lawan jenis, begitu kata orang-orang kebanyakan. Bisa saja kedua insan itu saling jatuh cinta atau salah satunya jatuh cinta sedangkan yg lain hanya menganggap sahabat saja, tidak lebih. Antara aku dan Randy, aku tidak tahu apa yg terjadi. Mungkin lama-kelamaan aku kagum pada sosok Randy yg sederhana dan membuatku merasakan lebih terhadap Randy. Ketika teman-teman sekelas kami mengolok-olok persahabatan kami, awalnya aku masa bodoh. Namun entah mengapa, lama-kelamaan aku merasa risih. Aku menjauhi Randy beberapa saat kala itu. Enggan berbicara lama-lama pada Randy dan enggan bermain bersamanya. Singkat kata, aku dan Randy menjadi jauh.
   Bodohnya diriku saat itu. Seharusnya aku tahu bahwa aku tidak mungkin menjauhi sahabatku yg satu itu.  Tentu saja setelah menjauh dari Randy selama beberapa saat, aku kemudian merasa rindu pada Randy. Namun ternyata aku salah. Jarak sudah terlanjur membunuh kami perlahan-lahan. Randy juga ternyata merasa gerah akan sindiran teman-teman kami. Intinya, kami tidak pernah sama seperti dulu lagi.

   Aku kehilangan sosok Randy. Randy dan aku tidak pernah lagi bersahabat erat seperti dahulu. Ada jarak yg menyakitkan yg membatasi kami berdua. Aku tidak tahu mengapa, namun hingga masa SMP berakhir, aku tidak bisa membalut retakan hubungan persahabatan kami begitu saja. Di hari terakhir sekolah, aku yg harus pindah rumah bersama keluargaku ke kota lain keesokan harinya, hanya bisa merasakan jantungku berdegup cemas saat melihat punggung Randy berjalan menjauh dariku. Harusnya saat itu aku memanggilnya. Harusnya saat itu aku merekatkan ikatan kami lagi. Harusnya aku tahu bahwa rasa sakit keretakan itu membawaku pada rasa tersiksa selama bertahun-tahun. Harusnya aku mampu, minimal, memanggil namanya.


   "Sayang, nanti malam kita makan di luar ya?" ujar suara suamiku di seberang telepon.
   "Tumben. Emang kenapa?" jawabku sambil memilih-milih anggur yg ingin kulahap.
   "Hari ini kan anniversary kita, sayang. Masa lupa?" Nada bicaranya terdengar kecewa.
   Aku tertegun sesaat. Oh ya, tanggal 25.
   "Duh, maaf bang, bukannya lupa. Mungkin aku sudah terbiasa dengan pernikahan jadinya month anniversary nggak kehitung lagi hehe", ujarku.
   "Dasar kamu. Yaudah pokoknya nanti malam aku pulang kantor langsung jemput kamu ke rumah, ya. Dandan yg cantik, ya, sayang".
   "Aku sudah cantik, sayang. Nggak mandi pun aku sudah cantik", candaku.
   "I know, baby. That's why I marry you", kemudian suara tawa Michael terdengar renyah di telingaku.


   Malam ini dengan balutan gaun hitam panjang bergliter berdada rendah serta berpotongan paha yg tinggi, aku siap menikmati dinner romantis yg Michael rencanakan. Aku asyik menikmati rib steak sambil bercengkrama mesra dengan suamiku yg humoris itu ketika tiba-tiba mataku menangkap sosok tak asing yg sukses membuat badanku panas seketika. Randy... Benar, itu pasti dia. Aku melihat Randy sedang duduk sendiri di meja yg tak jauh dari mejaku. Tenggorokanku tercekat. Seketika senyumku hilang dan Michael menyadari itu.
   "Sayang, kok tiba-tiba diem? Ngeliat apa sih?" tanyanya sambil menengok ke arah mataku sedang menatap.
   Aku menunduk. "Nggak. Tadi rasa saus dagingnya agak asin", kilahku cepat.
   "Masak sih? Tumben banget masakan di sini nggak sempurna, sayang".
   "Aku mau ke toilet sebentar", kataku cepat sambil buru-buru menuju toilet.

   Di toilet, aku menatap cermin dan mematung. Aku melihat Randy lagi. Setelah 9 tahun berlalu dan akhirnya aku melihatnya lagi? Aku hampir tidak mempercayai mataku. Tapi, aku tidak tahu apa yg harus aku lakukan. Ingin sekali aku menyapanya dan melepas rinduku. Tetapi aku tahu, meski suamiku sedang tidak bersamaku sekarang, aku tidak akan berani berbuat begitu. Juga, aku tidak berani kembali ke kursiku sekarang dan melihat Randy lagi dari arah kursiku. Aku tidak tahu harus bagaimana.

   Aku menangis. Ya, sesampai di rumah dan setelah Michael tertidur pulas, aku keluar kamar dan berdiri di balkon rumahku sambil mengalirkan air mata yang tidak dapat lagi kutahan. Aku menyesal tidak menyapanya tadi, namun tidak juga tahu apa yg semestinya kulakukan. Yg aku tahu, rinduku padanya telah membunuhku dan aku mau tidak mau harus menikmatinya.

   Sebulan berlalu setelah kejadian itu, aku bermimpi lagi mengenai Randy. Di mimpiku, Randy masih lah bersosokkan seorang anak laki-laki SMP yg bertubuh lebih pendek dariku. Ia melirikku dan tersenyum padaku. Lalu aku terbangun. Aku menangis. Aku terlalu rindu padanya. Mungkin aku terdengar cengeng, namun semenjak aku melihat Randy lagi setelah 9 tahun berlalu, aku semakin merasa pikiranku agak kacau. Dan mimipiku kali ini membawaku pada tekad untuk mencari tahu Randy lagi. Kali ini, aku harus bertemu dan berbincang dengannya.
   Tidak mudah mencari tahu mengenai Randy. Setelah aku kembali log in pada akun Facebook ku yg hampir setahun tidak lagi kubukan, aku mengetikkan nama lengkap Randy dan mencari akun Facebooknya. Tidak kuperdulikan lagi ratusan notifikasi Facebook ku yg saat itu sudah menggunung.
   "Dapat!" seruku dalam hati ketika melihat akun Facebook Randy dengan foto profilnya yg masih bisa kukenali dengan baik. Foto sederhana yg sempat membiusku. Tidak ada yg luar biasa dari wajah itu, namun tetap bisa membuat anganku melayang-layang tak menentu.
   Ketika aku hampir berniat menambahkan akun Randy ke akun pertemananku, aku termangu. Ingin apa aku setelah Randy menerima akun pertemananku? Entahlah. Aku mengurungkan niatku. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, aku memutuskan untuk langsung mengirimi pesan ke Facebooknya saja.
  
   "Hai, Ran. Apa kabar?:)"
   Sent.
   Seminggu berlalu dan selama seminggu itu pula aku rajin memeriksa Facebook ku untuk melihat balasan dari Randy. Seminggu berlalu dan akhirnya aku melihat bahwa Randy telah membalas pesanku. Aku terhenyak.
   "Hai, Lan. Gue baik-baik aja. Kenapa nih?"
   Aku kecewa. Debaran di jantungku saat membuka pesannya terganti menjadi rasa mencelos yg dalam di dadaku. Setelah 9 tahun berlalu dan sapaan ramah pesanku di akun Facebooknya dan dia hanya menjawab datar pertanyaanku? Tanpa menanyakan balik kabarku? Sebegitu dinginnya kah ia mau berbuat terhadapku? Bukankah aku sahabatnya? Dulu.
   Aku hampir memutuskan untuk tidak usah saja membalas pesannya. Namun rasa rinduku mengalahkan hal itu.
   "Gak apa-apa. Kan udah lama nggak ketemu hehe. Tinggal dimana sekarang, Ran?"
   Sent.
   Setelah menghela nafas sebentar, aku membuat teh untuk diriku sendiri. Sambil menyesap tehku dalam-dalam, aku beranjak kembali ke Facebook ku. Namun ternyata, tanpa disangka ada sebuah pesan lagi masuk ke Facebookku. Randy membalas pesanku!
   "Masih di Salemba, Lan. Lo?"
   Tanpa berpikir panjang aku segera meminta pertemanan ke akun Randy. Dengan harap-harap cemas dan menggigit-gigit kukuku, aku menunggu Randy untuk menerima permintaanku. Dengan begitu kami jadi bisa lebih leluasa untuk mengobrol melalui fitur chat yg dimiliki Facebook. Satu jam berlalu dan aku kecewa. Nampaknya Randy telah sign out. Aku memutuskan untuk membalas pesannya saja.
   "Gue sekarang di Kebon Jeruk, Ran. Btw, request gue segera diconfirm ya. Gue mau ngobrol banyak sama lo :)"
   Sent.
   "Mau ngobrol apa, Lan?" Randy membalas pesanku lagi! Aku heran. Kenapa dia tidak segera menerima permintaan pertemananku saja? Seketika aku menjadi sedih.

   "Kok lo gitu sih, Ran? Masa iya lo nggakmau nerima permintaan pertemanan di Facebook dari temen lama lo?"
  
   "Ye dia nanya balik haha".

   "Ah, elo mah. Gue mau ngobrol, Ran".

   "Loh, ini lagi ngobrol. Tapi dari tadi lo nggak ngomong apa-apa. Bedanya apaan?"

    "Biar lebih cepet, Ran".

    "Ini gue bales cepet, kan? Gue lagi on line kok, sampe malem".

   Aku tidak tahan lagi berbalas pesan yg tidak ada kemajuan seperti ini.
   
   "Gue kangen sama lo, kali. 9 tahun, Ran, kita nggak ketemu".

   Lama menunggu balasan pesan Randy dan aku kembali gugup. Kira-kira apa yg akan Randy katakan?

   "Hahahaha". Itu saja jawabannya setelah hampir setengah jam aku menunggu.

   "Ketawa?"

   "Yaiya".

   Sedih membaca pesannya, namun aku tidak mau tahu lagi. Aku harus mengutarakan isi pikiranku selama ini padanya.

   "Gue kangen lo, Ran. 9 tahun nggak ketemu, lo selalu muncul di mimpi gue. Gue nggak ngerti kenapa begitu. Tapi yg jelas, gue pikir setelah menikah sama Michael, gue bakal berhenti mimpiin elo karena toh gue merasa jatuh cinta sama Michael. Dia pria yg hampir sempurna. Tapi gue masih tetap mimpiin lo, bahkan sampe semalem. Gue masih aja mikirin lo, si sederhana. Lo sahabat gue selama di SMP dan gue kangen masa-masa itu. Gue kangen bercanda sama lo. Gue kangen lo nelpon gue cuman untuk nanya PR. Gue kangen duduk sebangku sama lo terus bercanda-canda. Gue kangen main drama sekelompok sama lo. Gue kangen main balap mobil sama  lo. Gue kangen ngerjain elo. Gue kangen lo usilin. Gue kangen lo minjem gunting sama gue. Gue kangen kerja kelompok bareng elo. Gue kangen tukeran hp sama lo. Gue kangen mergokin elo yg lagi ngupil. Gue kangen ngeliat lo main basket meskipun elo pemain basket yg paling pendek, Ran. Gue kangen elo, Randy. Dan butuh keberanian besar untuk gue ngomong kayak gini sama lo. Maafin gue, Ran. Gue cuman mau elo tahu kalau gue ternyata selalu mencintai elo dan maaf, karena gue baru sadar selama 9 tahun ini. Maaf... Gue cuman pengen memutar waktu ke 9 tahun lalu, Ran, dan mengulang-ulang waktu itu. Gue pengen waktu berhenti di waktu ketika kita masih SMP. Maaf, Randy. Gue cuman kangen elo. Bahkan nomor handphone lo pun masih bersarang di otak gue sampai sekarang. Sesusah itu menghapus kenangan sederhana itu, Ran. Sesederhana ketidakmengertian gue akan perasaan gue sama lo. Sesederhana perasaan rindu gue yg tidak gue minta elo membalasnya. Sesederhana itu semua. I love you, Ran. I'm sorry for that..."

   Sent. Aku menghela nafas panjang. Setitik air mata perlahan muncul di sudut mataku. Aku menyesap tehku dalam-dalam.


   5 tahun berlalu semenjak aku mengirim pesan terakhirku kepada Facebook Randy. Dia tidak pernah membalasnya hingga detik ini. Pada awal-awal aku mengiriminya pesan itu, aku rajin mengecek Facebookku. Terkadang saat Michael sudah tertidur pun aku diam-diam mengecek Facebookku, namun tetap tidak ada balasan dari Randy. Aku memperhatikan bahwa Randy sudah beberapa kali mengganti foto profilnya namun tidak sekalipun menggubris pesanku atau menerima permintaan pertemananku. 2 tahun menikah dengan Michael, aku menjadi sibuk menikmati peranku sebagai ibu dari Brianna Holly, anak pertamaku dan Michael. Kehadiran Brianna sempat membuatku mengalihkan penantian dari balasan pesan dari Randy. Namun jujur, dari hatiku yg terdalam aku masih menantikan balasan pesannya.

   7 tahun berlalu dan tidak ada tanda-tanda bahwa Randy akan membalas pesanku. Dia tidak akan membalas pesanku, aku berkesimpulan. Penantianku berakhir dengan sesederhana itu. Sesederhana kisahku dengan Randy, cinta pertamaku. Tidak ada yg spesial. Good bye, Randy. Love is simple. Simple as you.***







by:
Esra M. Tambunan

  

                  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar