Jumat, 27 Juli 2012

Yang Tidak Memiliki Usia

   "Ibu ingin dimakamkan di tempat kami pertama kali bertemu, nak", ujar ayahku, seorang lelaki tampan yang tua dan lelah. Keriput di wajahnya menunjukkan bahwa ia telah melewati tahun-tahun di hidupnya dengan menakjubkan. Ototnya yang kini rapuh masih mampu menunjukkan bahwa ia menapaki hidup melalui kerja kerasnya sebagai petani bertahun-tahun lalu. Aku menoleh ayahku dan tersenyum.
   "Ya, ayah. Teluk Kiluan, bukan?" tanyaku sambil mengelus telapak tangannya yang kasar.
   "Iya. Segera setelah proses kremasi selesai, mari kita sebar abu ibumu di sana, ya", jawab ayah kemudian memejamkan matanya, tertidur.

   Aku belum pernah menyaksikan kisah cinta luar biasa seperti yang ayah dan ibuku lalui. Maksudku, tentu saja sebagai penggemar buku aku sudah membaca ratusan kisah-kisah cinta yang menakjubkan, tetapi aku belum pernah menyaksikan kisah cinta yang indah secara langsung, kecuali kisah cinta kedua orangtuaku.
   Berawal dari kisah cinta yang layaknya percintaan Romeo dan Juliet, kedua orangtuaku menjalin cinta tanpa disetujui oleh orangtua mereka masing-masing. Seperti cerita-cerita cinta jaman dahulu, ayahku pun juga mengalami yang namanya dijodohkan. Tera, nama perempuan itu. Dia cantik sekali, menurut cerita ayahku. Banyak pria di desanya yang mengincar Tera, namun kedua orangtuanya telah bersikukuh menjodohkan ia kepada Hans, ayahku. Meski begitu, ibuku telah memikat hati ayahku terlebih dahulu. Di Teluk Kiluan, Lampung, mereka bertemu. Saat itu ayahku sedang berjalan-jalan dengan teman-teman sekampungnya dan tak sengaja bertemu dengan ibuku yang memang tinggal di Lampung. Dengan kulitnya yang hitam manis dan matanya yang indah, ibuku mendapatkan hati ayahku dan ayahku tak mampu berpaling kepada kecantikan Tera. Singkat cerita, ayah dan ibuku menikah setelah memperjuangkan cinta mereka.
   Pernikahan ayah dan ibuku nampaknya tidak lepas dari campur tangan kedua orangtua ayahku, yaitu kakek dan nenekku, yang masih tidak terima ayah menikahi ibuku. Ibuku sering sekali menangis akibat dikritik habis-habisan oleh nenekku, juga diperlukan kasar oleh kakak-kakak ayahku. Namun dengan dengan segenap cintanya pada ibuku, ayahku selalu membelanya. Meski di saat-saat sulit seperti itu aku dan kelima adikku belum lahir, namun aku yakin bahwa ayahku tidak akan pernah membiarkan ibuku menghadapi mertua dan kakak-kakak ayahku menyiksanya seorang diri. Aku tahu ayah. Dia sangat mencintai ibuku.

   Ayahku bukanlah seorang yang romantis. Ia bukan tipe seorang pria yang kerap memberikan kejutan-kejutan yang romantis untuk ibuku atau sekedar mengecup pipi ibuku di pagi hari sebelum bertani ke ladang. Ia hanya seorang pria biasa yang mencintai ibuku dengan sederhana. Ia selalu pulang tepat waktu untuk makan malam bersama keluarganya setiap hari. Ia tidak pernah melirik wanita lain di dalam hidupnya selain ibuku. Meski kadang aku menyadari bahwa ayahku selalu bertindak tegas kepada ibuku, aku tahu bahwa ayahku sangat mencintai ibuku dan akan melakukan apa saja untuk melindunginya.
   Cinta ibu kepada ayahku juga tidak akan pernah aku ragukan. Ia tahu bahwa ayah merupakan tipe pria tegas yang menyukai istrinya sebagai seorang ibu rumah tangga sejati. Ia mengharuskan ibuku memasak tiap hari untuk keluarganya dan ia melakukannya dengan baik. Rumah kami selalu rapi setiap harinya dan kami, anak-anaknya berhasil digembleng oleh ibu kami yang sangat tegas dalam mendidik. Meski kami berasal dari daerah yang sangat terpencil, namun kami berenam berhasil menamatkan pendidikan kami hingga bangku SMA dan kemudian menjalani hidup di Jakarta dengan berpenghasilan sangat baik.
   Meski keenam anaknya memilih untuk merantau ke Jakarta dan menetap di kota metropolitan itu, kedua orangtuaku bersikeras untuk tetap tinggal di kampung halaman tercinta mereka, di Bengkulu sana. Sesekali mereka datang berkunjung ke Jakarta dan menetap selama beberapa minggu atau bulan bersama kami para anak dan cucunya. Hingga suatu kali ibu meneleponku dan kali itu nada suaranya berbeda. Ia mengatakan bahwa ayahku pingsan saat sedang menonton bola di tv. Keesokan harinya, ayah dan ibuku terbang ke Jakarta. Ayahku menjalani rangkaian pemeriksaan kesehatan di rumah sakit dan kemudian kami mengetahui bahwa di otaknya terdapat sebuah tumor ganas. Kami pun segera tahu bahwa hidup ayah tidak lama lagi.

   Awalnya kami menyembunyikan keadaan ayah yang sebenarnya kepada ibu dan juga kepada ayahku. Aku takut mereka akan sangat panik dan kehilangan semangat hidup. Namun keputusanku berubah ketika suatu pagi aku mendengar ibu berdoa di samping ayah. Nampaknya beliau tahu bahwa ayahku sedang sakit keras. Usai berdoa ayahku mengecup kening ibu dan mereka berpelukan. Saat itu juga aku menghambur ke pelukan mereka kemudian dengan air mata yang menetes aku mengatakan agar mereka selalu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk apapun.
   Ibuku sangat telaten mengurus ayahku yang sedang sakit itu. Namun meski ayah sedang sakit, ia tetap tak lupa memperhatikan ibu. Ayahku mengambilkan minum untuk ibu ketika mereka sedang makan dengan tangan tuanya yang gemetar. Ia juga mengolesi minyak angin di leher ibuku ketika menyadari bahwa ibu sedang tidak enak badan ketika masuk angin. Aku menyaksikan peristiwa-peristiwa indah itu dengan bersyukur. Terlintas di kepalaku perlakuan-perlakuan mesra ayah dan ibuku di usia senja mereka. Ketika mereka bergandengan tangan saat aku mengajak mereka berjalan-jalan menyusuri mall, saat ibuku mengecup pipi ayahku di ulangtahunnya yang ke 65, ketika ibuku dengan setia menjawab setiap panggilan masuk di telepon genggam ayahku karena ayahku sedang terbaring lemah akibat tumor itu, dan semua hal-hal kecil lainnya yang membuatku terharu. Cinta mereka memang sederhana namun indah.
   Ibuku mungkin terlalu mencintai ayahku sehingga sepanjang menemani ayahku dalam sakitnya, ia pun ikut menjadi lemah. Entah apa yang terjadi pada tubuh ibuku, namun keadaannya ikut memburuk bersamaan dengan ayahku. Tubuhku menjadi sangat kurus dan matanya memancarkan kesedihan. Ternyata ibuku tak sanggup menyaksikan ayahku tersiksa. Ia selalu berdoa pada Tuhan agar Tuhan meringankan penyakit ayahku, namun ia sendiri lupa mendoakan dirinya. 3 bulan setelah ayah divonis sekarat, ibuku kembali ke pangkuan Tuhan setelah ia sempat susah bernafas. Ia meninggal di pangkuanku.
   Di hari kematian ibu dan 6 hari sesudahnya, ayahku sangat berduka. Ia menangis dan terus menangis hingga kejang-kejangnya kumat. Setelah sempat pingsan selama 2 hari, ayahku siuman. Dan kalimat pertama yang ia ucapkan setelah ia sadar adalah, "Nak, aku rindu ibumu".

   Sebulan berlalu setelah kematian ibu, aku menyadari bahwa harapan ayahku untuk bertahan hidup semakin menipis. Keluarga kami pun harus bersusah payah bangkit setelah kematian ibuku karena kami masih punya ayah yang sekarang juga sedang terbaring sekarat. Hingga tiba di saat ayah memanggilku untuk mengutarakan sesuatu.
   "Aku tahu aku akan segera menyusul ibumu, nak", ujar ayahku sambil tersenyum lemah. Aku tidak menjawab dan memutuskan untuk mendengarkannya saja.
   "Aku segera rindu pada ibumu. 49 tahun kami melewati kehidupan pernikahan dan baru kali ini aku sangat merindukannya. Kami tidak pernah berpisah selama ini". Air mataku menetes.
   "Terkadang tumor ini membuatku lupa siapa aku dan orang-orang di sekelilingku tanpa aku inginkan. Tapi ada saat dimana aku selalu mengenali wajah ibumu. Dia memang jodohku dan aku merindukannya. Aku bersyukur telah mengenal perempuan semanis ibumu. Aku merindukan teh buatannya dan jemarinya yang lembut. Aku merindukan suaranya yang merdu. Aku merindukan ibumu. Dia pasti sudah menungguku di surga. Dengar, nak, kami akan segera menjadi sepasang pengantin surga", ujar ayahku.
   Aku mendengar dengan seksama setiap kata yang diucapkan ayahku kemudian bersyukur bahwa ayah sangat mencintai ibu dan demikian pula sebaliknya.
  Ayahku mengusap air mata di pipiku dan kemudian melanjutkan perkataannya sambil menutup mata, "Bu, sabarlah. Aku segera datang", bisik ayahku. Kemudian ia pun pergi.
   Tak ada tangis menyayat hati ketika kami sekeluarga melepas kepergian ayah. Begitu juga saat kami menabur abu ayahku di tengah-tengah teluk Kiluan. Saat itu kami begitu ikhlas dan bahagia menyadari bahwa ayah telah bertemu dengan pengantinnya di surga, yaitu ibuku. Tidak ada hal yang lebih indah dibanding menyaksikan pertumbuhan cinta kedua orangtuaku yang abadi. Aku belajar banyak dari kisah mereka dan bersyukur karena telah mengenalkan aku cinta yang seutuhnya. Meski sederhana, namun mereka tidak pernah berhenti mencinta. Aku memang belum mengenal maut dan kehidupan sesudahnya, namun kisah cinta kedua orangtuaku meyakinkan aku bahwa maut bukanlah pembatas kisah percintaan manusia. Karena yang tulus mencinta tidak akan pernah benar-benar terpisah, meski oleh maut sekalipun. Cinta, itulah satu-satunya hal di dunia yang tidak memiliki usia.






by:
Esra Masniari Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar