Kamis, 04 Agustus 2011

Kakak (Short Story)

   Senja itu terasa lebih dingin. Langit bukanlah berwarna oranye yang indah, melainkan abu-abu gelap. Aku menapakkan kaki sembari bersyukur telah tiba di bandara Soekarno-Hatta dengan selamat, meski cuaca tidak terlalu bersahabat. Hari ini aku kembali ke Jakarta, setelah 5 tahun lamanya menetap di New York. Aku begitu rindu kota kelahiranku ini. Kata orang, rumput tetangga lebih hijau. Namun hal itu tidak berlaku bagiku. Kehidupanku selama 5 tahun di New York memang cukup baik. Aku memiliki pekerjaan yang tetap dan menghasilkan banyak uang. Kehidupan sosialku juga sangat baik. Kota New York merupakan kota yang glamor. Di sana selain bekerja, aku juga sering bersenang-senang. Siang bekerja, malam berpesta. Istilahnya, "work hard play hard". Tetapi jauh dari hingar-bingar kehidupanku yang menyenangkan di New York, aku selalu ingin kembali ke Jakarta; kembali menjumpai kakak.

   Kakakku adalah sosok yang aku idolakan. Ia berusia 4 tahun lebih tua dibanding ku. Ia memiliki kulit cerah serta mata cokelat yang cantik seperti ibu. Sedangkan aku, lebih mirip ayahku. Kami berdua berkulit coklat dan berlesung pipit. Warna rambut ku dan kakak sama-sama hitam. Namun aku berambut lurus dan tebal, sedangkan kakak memiliki rambut ikal. Bentuk tubuh kakak tidak terlalu semampai seperti aku. Ia agak sedikit gemuk, sedangkan aku memiliki tubuh semampai dan bagus. Walaupun orang-orang berkata aku merupakan seorang gadis cantik, aku lebih ingin menjadi seperti kakak. Ia memiliki wajah yang selalu tersenyum dan ia selalu membawa keceriaan dimana pun ia berada.
   Nasib aku dan kakak tidak terlalu baik. Saat kakak berusia 15 tahun dan aku berusia 11 tahun, kedua orangtua kami mengalami kecelakaan yang merengut nyawa mereka. Aku dan kakak pun dirawat oleh paman dan bibi kami. Kehidupan kami bersama mereka tidak terlalu baik. Mereka seringkali mengacuhkan kami. Bahkan paman pernah hampir berbuat yang tidak senonoh kepadaku ketika ia sedang mabuk. Ya, paman merupakan seorang pemabuk. Saat aku ketakutan hampir dijamah paman, kakak langsung menghampiri kami. Ia menjadi seorang pahlawan untukku. Kakak menggengam erat tanganku, kemudian membentak paman agar menjauhi ku. Kejadian itu sangat membuat aku makin menyayangi kakak. Ia merupakan pelindungku, juga sahabatku. Kakak juga merupakan seorang pribadi yang mendukungku habis-habisan untuk mendapatkan beasiswa untuk berkuliah, sama sepertinya. Menurutnya, cara itu satu-satunya agar kami berdua bisa berkuliah. Paman dan bibi kami tak mau menyekolahkan kami sampai ke bangku kuliah. Berkali-kali mereka tekankan bahwa menampung kami berdua saja sudah merupakan keuntungan besar bagi kami.

   Aku dan kakak menyelesaikan kuliah kami berdua dengan baik di sebuah universitas di Adelaide, Australia. Kami benar-benar mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Aku mengambil jurusan akuntansi, sedangkan kakak mengambil jurusan psikologi. Kami tumbuh menjadi pribadi yang sukses dan menyenangkan. Selepas kuliah, kakak melepas masa lajangnya dengan dinikahi oleh pria yang telah dipacarinya selama setahun. Aku sangat bahagia melihat kakak bahagia dengan suaminya. Perjalanan cintaku sendiri tidak cukup mulus. Banyak pria yang hanya singgah di hidupku. Mereka menyukai aku karena parasku, tak lebih. Aku hampir tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya. Sekalinya aku jatuh cinta, pria itu meninggalkan aku. Aku terlarut dalam sakitnya patah hati selama berbulan-bulan. Kepribadianku menjadi lebih keras, namun rapuh. Di saat kehidupanku sedang goyah, pekerjaanku menjadi terbengkalai. Di saat itu pula, kakak lagi-lagi menjadi pahlawanku. Ia mencoba untuk membantuku dengan menawarkan untuk ikut tinggal bersama ia dan suaminya, di saat umur pernikahan kakak baru memasuki tahun ketiga. Ia ingin memastikan aku tidak pernah sendiri dalam melewati berbagai kesusahan di hidupku. Awalnya aku keberatan karena tidak ingin merepotkan kakak, tetapi kakak memaksa dan aku tahu, di saat-saat berat seperti itu, aku benar-benar ingin kakak ada di sampingku.

   7 bulan tinggal bersama kakak dan suaminya membuat kehidupanku kembali tertata dengan baik. Setengahnya pengaruh dari kasih sayang kakak yang selalu setia untukku, namun sebenarnya sebagian besar, karena aku jatuh cinta kepada Raymond, suami kakak.
   Raymond merupakan seorang pria yang baik. Awalnya ia memperlakukan aku sebagai adiknya. Ia bersikap perhatian, sama seperti kakak. Namun entah kenapa, lama-kelamaan tumbuh cinta di antara kami berdua. Aku jatuh cinta kepada Raymond, dan Raymond pun jatuh cinta kepadaku. Perlakuan Raymond mulai istimewa kepadaku, dan aku menikmatinya. Aku tahu aku salah, tetapi aku benar-benar jatuh cinta kepada Raymond. Sampai suatu hari kakak memergoki kami berciuman di dapur, di saat kami pikir kakak masih mandi. Kakak sangat marah. Aku tahu hatinya hancur. Belum pernah ku lihat kakak sangat kecewa kepadaku. Ia memaki kami, tersungkur dan menangis. Hatiku rasanya juga terkoyak melihatnya demikian. Raymond tidak melakukan apa-apa. Sebelum kakak mengusir aku dan Raymond, Raymond sudah lebih dulu mengajak aku mengemasi barang-barang kami dan pergi meninggalkan kakak. Betapa berdosanya aku ketika aku menyadari bahwa di malam itu, aku merasa bahagia karena ternyata Raymond lebih mencintai aku dibanding kakak. Aku memang menyayangi kakak, namun hari itu aku buta. Aku dibutakan oleh cinta terlarangku kepada Raymond. Aku dan Raymond pun pergi meninggalkan kakak. Perceraian kakak dan Raymond berlangsung segera setelah peristiwa malam itu, kemudian aku dan Raymond memutuskan untuk meninggalkan Indonesia untuk menikah dan menetap di New York.

   Ku pikir cintaku yang kuat terhadap Raymond merupakan kisah indah yang bisa menguatkan aku untuk melupakan rasa bersalahku terhadap kakak. Tetapi, aku salah. Setiap kali memandang mata Raymond, aku merasa berdosa. Aku tahu kakak begitu mencintai dan mempercayai aku dan Raymond, namun alangkah jahatnya aku dan Raymond, telah merengut kebahagiaan kakak secara paksa dan merusak hidupnya.
   Umur pernikahan aku dan Raymond ternyata lebih singkat dibanding pernikahan kakak dengannya. Hanya 1,5 tahun aku mampu menjaga biduk pernikahanku dengan Raymond. Kami sering diliputi pertengkaran, sampai akhirnya kami memutuskan untuk bercerai. Seusai bercerai perasaan bersalah terhadap kakak semakin menyakitiku. Aku tahu aku sudah sangat berdosa dengan menyakiti hati wanita yang sangat menyayangi dan melindungku dari kecil itu; tetapi aku sangat merindukan kakak.
   Bertahun-tahun aku bergulat dengan pikiranku sendiri; memutuskan untuk menghubungi kakak lagi atau tidak. Aku rindu sekali pada kakak, dan ingin sekali mendengar suaranya serta menemuinya. Aku ingin sekali kakak memaafkan aku. Aku sudi bersimpuh di kaki kakak untuk mendapatkan maafnya. Tetapi aku merupakan seorang pengecut. Aku terlalu takut kakak tak akan pernah mau memaafkan aku. Terlebih pernah suatu kali aku yang memberanikan diri menelefon kakak, namun setelah mengetahui bahwa si penelefon adalah aku, kakak langsung mematikan telefonnya. Aku tahu mengapa kakak berlaku demikian. Aku sudah meremukkan kehidupannya, melukainya sangat dalam. Tidak heran jika kakak tak mau memaafkanku. Tapi aku, si tidak tahu terima kasih ini, ingin sekali suatu hari kakak akan membukakan pintu maafnya untukku.

   Cukup sudah selama 5 tahun aku berpisah dari kakak. Aku bertekad untuk kembali ke Indonesia untuk menemui kakak. Aku akan berjuang untuk mendapatkan maafnya. Dengan menguatkan diri, aku rencanakan kepulanganku ke Jakarta. Setelah tiba di bandara Soekarno-Hatta, aku pun memutuskan untuk segera menemui kakak. Tak ku pedulikan rasa lelah yang menyengat akibat perjalanan belasan jam untuk tiba di Jakarta. Aku hanya ingin bertemu kakak.
 
   Aku bersyukur kakak belum pindah dari rumahnya yang sebelumnya sehingga aku masih tidak perlu lagi mencari-cari kakak. Sampai di rumah kakak, aku perhatikan beberapa tetangga yang aku kenali memasang mata tajam terhadapku. Ada hinaan yang tersirat dari pandangan mata mereka terhadapku. Aku berusaha tersenyum pada mereka, namun mereka tidak membalas. Aku memaklumi sikap ketus mereka terhadapku. Manusia seperti apa yang tega menusuk kakak kandungnya sendiri lalu merebut suaminya? Aku memang terkutuk.
   Aku merasakan tanganku basah karena gugup seusai memencet bel rumah kakak dua kali. Jantungku berdegup tak karuan. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dadaku. Akankan kakak menerimaku untuk masuk ke rumahnya? Masih marahkah kakak padaku? Sudikah kakak memaafkan aku? Rindukah ia padaku?
   Perlahan pintu rumah kakak terbuka. Aku melihat wajah kakak saat pintu itu terbuka. Kakak bertubuh kurus sekarang. Matanya sayu, namun aku tetap melihat wajahnya terpancar cantik. Kakak terkejut melihat siapa yang ada di balik pintu rumahnya. Ia hampir menutup pintu rumah, namun aku segera menahannya.
   "Kak, aku mohon biarkan aku masuk", ujarku sambil menahan kakak menutup pintunya. Mataku segera basah. Kakak terdiam sejenak.
   "Aku ingin bicara kak, aku mohon biarkan aku masuk ke rumahmu..." aku memelas. Air mataku mulai mengalir. Kakak menyadari tangisanku dan membiarkan tanganku mendorong pintu hingga terbuka. Ia menangis. Aku merasakan sakit yang amat dalam melihat air matanya.
   "Aku minta maaf, kak", ujarku lirih, tenggelam dalam tangisan. Kakak masih mematung, namun air matanya mengalir deras membasahi lehernya. Aku pun berlutut.
   "Aku tahu aku sudah sangat menyakitimu, kak. Aku tidak tahu diri, aku benar-benar tidak tahu terima kasih. Maafkan aku yang sudah buta, kak. Aku mohon maafkan aku, kak. Aku rindu kakak. Aku mohon maafkan aku, kak..." aku semakin terisak. "Aku hanya minta kakak untuk memaafkan aku. Aku rela kakak menamparku berkali-kali karena kakak tidak sempat melakukan itu, kak. Aku tidak akan peduli sakitnya tamparanmu, kak. Jika kau tidak ingin melihatku lagi setelah ini aku juga akan pergi kak, tapi aku mohon maafkan aku, dan biarkan aku memeluk kakak untuk yang terakhir, karena aku rindu sekali padamu, kak", lanjutku dengan terus menangis.
   Keajaiban terjadi. Kakak membantuku berdiri dan kemudian memelukku. Aku kaget namun segera membalas pelukannya dengan sangat erat. Kami berdua tenggelam dalam tangisan kami.
   "Aku juga rindu padamu, Carlie. Aku memaafkanmu. Tolong, jangan pernah pergi lagi", ujar kakak. Aku merasakan keteduhan yang amat sangat. Hati kakak pasti sangat besar untuk menerima permintaan maaf dari seorang adik yang tidak tahu diri ini. Aku bersyukur memiliki kakak seperti dia. Aku akan melakukan berbagai cara untuk mengembalikan dunianya yang indah. Aku ingin menyaksikan kakak bahagia sampai akhir hidupnya. Terima kasih sudah memafkaanku, kak.***





by: Esra Masniari Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar