Senin, 16 Mei 2011

Petir Tanpa Hujan (Short Story)

Hari ini aku memutuskan untuk tidak pulang. Aku muak dengan keadaan rumah yang semakin tidak terkendali. Ayah, yang selalu saja berbuat ulah dengan berselingkuh sana-sini dan hampir selalu pulang dalam keadaan mabuk. Belum cukup itu saja yang aku keluhkan dari keadaan rumah. Ibuku, terlalu lemah menghadapi sikap ayah yang sangat buruk itu. Dibiarkannya ayah membawa pulang wanita lain ke rumah! Tak jarang tamparan juga didaratkannya di pipi ibu. Sudah sering kulihat lebam biru bersarang di wajah ibu. Hatiku terkoyak, sakit rasanya melihat wanita yang melahirkan dan merawatku sampai sekarang diperlakukan sekeji itu. Ingin rasanya aku menghajar ayahku sendiri, membuatnya jera dengan berlaku seperti itu pada ibu. Tapi apa dayaku? Aku masih berumur 15 tahun, tubuhku kurus, belum cukup kuat untuk sekedar mendorong ayah sampai jatuh. Mana nafsu aku makan banyak; seperti yang ibu harapkan selama 2 tahun ini, jika setiap hari aku tersiksa dengan keadaan yang terjadi di rumahku.

   "Bu, kenapa kita nggak pulang kampung saja ke Purbalingga? Kita berangkat selagi ayah nggak di rumah, jadi dia tidak perlu ikut", ujarku minggu lalu pada ibu yang sedang menyetrika pakaian seragamku.
   "Loh, Andi kok ngomongnya begitu? Jadi maksudnya kita ninggalin ayah sendiri di sini? Ya, kasihan ayah dong, ndi", jawab ibu tenang dan kemudian tersenyum. Senyum amat teduh, yang hanya bisa kulihat jika ayah tidak berada di rumah. Aku hanya terdiam mendengar jawaban ibu. Ya, aku sudah menebak itu jawaban yang akan diuraikannya. Ibu terlalu mencintai ayah. Aku juga, tetapi hatiku luka. Apa sebenarnya ibu takut meninggalkan ayah? Takut jika ayah masih mengejar kami, kemanapun kami pergi. Tapi jujur, dari lubuk hatiku yang terdalam, cintaku kepada ayah sudah terganti dengan harapan agar tidak usah lagi mengenal ayah.

   Derrtt. Derrtt. Handphoneku bergetar, membuyarkan lamunanku. Oh, ternyata ibu meneloponku melalui telepon rumah. Aku menimbang-nimbang, memutuskan untuk mengangkatnya atau tidak. Sudah 7x ibu menelopnku, dan kurasa ia sudah cemas sekali sekarang. Aku putuskan untuk menjawab telepon itu.

   "Andi dimana? Ibu telepon berkali-kali kok nggak diangkat? Ya Tuhan, Ndi, ini sudah jam berapa? Kenapa nggak pulang??" cecar ibu dengan berbagai pertanyaan. Nada suaranya terdengar sangat khawatir. Aku melirik putaran jarum di benda yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 9 malam.
   "Andi lagi nggak pengen pulang", jawabku pelan.
   "Apa?! Jangan macem-macem ya, ndi! Cepat pulang, ibu sendiri di rumah, ayahmu sudah pergi", ibu menegaskan kalimat terakhirnya.
   "Maksud ibu??"
   "Ayahmu sudah memutuskan untuk pergi, ndi", jawab ibu lirih. Namun entah kenapa, ku yakin ada semburat senyum di bibirnya.
  Aku mendengar suara petir menyambar-nyambar di luar sana sedari tadi. Langit malam terlihat mendung, terlihat lelah. Tidak ada hujan, bahkan setetes pun. Aku memutuskan untuk segera pulang. "Terima kasih, Tuhan", bisikku.



Esra Masniari Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar