Kamis, 20 Januari 2011

Sedikit Cerita Mengenai Manusia

Kenapa? Jika ada orang yang bangga dengan suatu pencapaian sukses di dalam hidupnya, orang-orang lainnya menganggap dia sombong, pamer. Sebenarnya siapa yg mempunyai energi negatif di dalam hal demikian? Orang yg bangga tapi dianggap sombong, atau orang yg tidak punya kosa kata lain selain 'sombong' kepada orang yg sedang bersyukur sedang berbangga diri itu? Bisa kan membedakan sombong dengan bangga? Ah, manusia...

Jika orang mengkritik secara halus, atau bahkan tajam, manusia seringkali tidak mau menerimanya. "Saya sudah benar". Itu yg mereka pikirkan, secara permanen. Padahal, menerima kritikan bisa membuat seseorang menjadi lebih maju. Jika pujian dan pujian saja yg diterima oleh seseorang, dia hanya akan berhenti di satu tempat, itu saja. Mungkin dia memang sudah melakukan hal yg bagus, tapi, ada kalanya kita tidak harus selalu melihat sisi cerah dari diri kita saja, melainkan sisi kurang baik yg sepantasnya kita perbaiki. Kita pasti akan menjadi lebih maju, jika bersedia menerima kritikan. Bersedialah mencoba. Ini berbeda dengan mempertahankan pendapat. Mempertahankan pendapat, tanpa menerima kritikan dari orang lain yg melihat, mencoba, mendengar atau merasakan, hanya akan membuat sesorang, lagi-lagi jalan di tempat, karena dia sudah cukup puas, dengan pencapaiannya yg tidak maksimal.

Perkataan mengenai cinta sejati, persabatan sejati, biasanya menjadi topeng seseorang untuk memperhalus kata sekaligus tindakan menuntut. Segala sesuatu yg sejati, seharusnya melakukan tanpa diminta, memberi tanpa meminta imbalan, menolong tanpa pamrih. Begitu juga dengan mencintai dan memiliki persahabatan. Bukan karena label 'sejati', 'erat', seseorang bisa mendikte seseorang lainnya untuk menjadi sesusai dengan apa yg dia mau. Menuntut, secara kasarnya, hanya akan memperburuk keadaan. Ada seseorang yg bilang kepada saya, bahwa awal dari keretakan suatu hubungan adalah jika seseorang mendikte serta menuntut seseorang lainnya untuk melakukan dan bersikap seperti yg si penuntut mau. Berbeda dengan mengajari. Mengajari adalah melakukan bersamaan hal yg disampaikan, tetapi menuntut, hanya bersifat memuaskan satu sisi, yaitu si penuntut.

Cinta tak harus memiliki, tak harus membalas, tapi hendaknya ia menghargai. Dicintai adalah salah satu anugerah yg bisa dimiliki oleh seseorang. Tidak sepantasnya perkataan buruk, pendapat tidak manusiawi, dilontarkan oleh seseorang yg tidak memiliki keinginan untuk membalas sebuah cinta dari orang lain. Minimal, kau mengahargai. Cinta itu tidak dapat dibeli, oleh karena itu, dicintai adalah suatu keadaan langka yg indah. Hendaknya manusia belajar menghargai, siapapun yg mencintainya.

Merasa paling benar. Ini yg paling sering dilakukan oleh manusia. Pentingkah merendahkan orang lain? Mencibir orang lain seperti hanya dia yg paling benar? Menilai seseorang dari luar? Kasat mata, seperti itu hendaknya dihindari. Tidak ada seseorang yg benar-benar sempurna. Tidak ada juga seseorang yg paling benar, terutama jika ia merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain. Pentingkah menilai keseluruhan pribadi seseorang dari satu bentuk sikapnya saja? Karena ia merupakan seseorang yg suka bercanda, itu berarti dia tidak religius? Karna ia tidak pernah menulis status di akun facebook/twitternya mengenai ayat, saat teduh, dan berdoa, menyatakan bahwa dia tidak serius dalam hal agama? Hendaknya kesungguhan seseorang dalam percaya dan beribadah bukan untuk dibanding-bandingkan, tetapi untuk diresapi oleh pribadi orang itu sendiri. Biar TUHAN yg mengetahui keseluruhan diri seorang manusia. Lalu darimana seseorang tau bahwa dia paling bersikap dewasa jika perbuatan menganggap orang lain kekanakannya itu secara gamblang dikibarkan? Siapakah yg dewasa dalam hal ini?

Manusia paling sering menghindari kesalahan. Itu fatal. Karena kebohongan memicu kejahatan lainnya. Memang tidak enak dipersalah atau merasa salah. Tetapi, menutupi masalah dengan membuat masalah lainnya hanya akan memperburuk keadaan. Mengakulah jika kau salah. Tidak enak memang akibatnya, tetapi itu adalah kesalahanmu sendiri. Dan, kejujuran akan selalu mengakibatkan kebaikan.

Ada lagi pengelompokkan. Cupu, dengan gaul. Kaya, dengan misikin. Darimana kau tahu, bahwa kau lebih baik, hanya karena kau mampu, sedangkan dia tidak? Darimana juga kau tau, bahwa orang yg patut dibanggakan itu orang yg humoris, dibandingkan orang yg pendiam? Setiap orang memiliki bakat dan kemampuan tersendiri. Jangan termakan oleh sifat tamak dan sombong, itu hanya akan menenggelamkan sisi baik dari diri seseorang.

Cinta itu hendaknya membawa kebahagiaan. Jangan sampai seorang manusia harus bertahan dalam perih, ketika sesuatu yg ia sebut cinta, malah memojokkan hidupnya, menyakiti jiwanya, serta melukai hatinya. Perselingkuhan, pengkhianatan, jelas salah. Kasar, tidak menghargai, tidak perduli, bahkan tidak benar-benar mencintaimu, jelas sangat-sangat salah. Lalu untuk apa kau bertahan? Ibarat jarimu yg tertusuk duri mawar. Sakit bukan? Padahal asalnya dari sekuntum mawar yg cantik. Jika kau mengeluarkan duri itu, rasa sakitnya pasti akan terasa hebat. Tetapi, itu hanya sementara. Perlahan namun pasti, rasa sakit dari bekas duri yg menancap itu akan memudar, lalu hilang. Oleh karena itu, jangan takut untuk mendapatkan cinta yg lebih baik. Jangan ragu, untuk melepaskan seseorang yg tidak layak untuk dicintai. Selalu ada pelangi, seusai badai.

Manusia mungkin dididik untuk mengenal kata 'tidak berubah'. Ada kalanya seseorang melakukan kesalahan. Mungkin bukan hanya satu, melainkan banyak. Mungkin teramat hina, atau bahkan menjijikkan. Tetapi, pada akhirnya, jika manusia itu memilih dan menemukan jalan untuk kembali, atau menjadi lebih baik, manusia itu tetap dicap salah. Manusia itu tetap dicap hina. Kata 'bertobat' saja ada. Kata 'percaya' juga ada. Lalu kenapa seseorang bisa dengan mudahnya menghindari seseorang yg sudah bertobat itu? Siapa di sini yg hina? Si pentobat, atau si tidak percaya?




Tulisan ini hanya isi pikiran si penulis. Semua hal yg digambarkan, dilalui dan dirasakan oleh si penulis. Tulisan ini tidak menyerukan bahwa si penulis adalah orang yg sempurna. Si penulis hanya ingin menekankan, bahwa pengalaman di dalam setiap cerita hidupnya adalah guru yg baik. Dan hal terakhir adalah, jangan pernah memandang negatif seseorang. Dengan berpendapat bahwa si penulis sok baik adalah hanya akan menunjukkan, bahwa; siapa yg sok? Si penulis, atau si pemberi pendapat? ;)


Penulis: Esra Masniari Tambunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar